ALKITAB YANG DIBELI DENGAN
MUSIK
Pintu
kantor lembaga Alkitab itu terkuak sedikit. Di depannya berdiri seorang
pria
berkulit hitam. Sudah tua bangka dia, bahkan begitu tua sehingga tubuhnya
bungkuk
sampai ke pinggangnya. Namun matanya masih cerah.
Pria
muda yang duduk di belakang meja tulis di kantor itu juga seorang Negro, yakni
seorang Amerika berkulit hitam. "Bagaimana, Oom?" tanyanya dengan
nada sopan.
"Oom perlu apa? Silakan masuk!"
Si
Tua melangkah masuk dengan tertatih-tatih. Jelas terlihat, baju yang dipakainya
itu adalah baju yang sudah dibuang orang lain. Sepatunya berlubang besar.
"Kalian
jual Alkitab di sini, Nak?"
"Tentu
saja, Oom."
"Kalian
mau dengar ceritaku?"
"Ya,
mau Oom." Petugas kantor yang masih muda itu memang ingin tahu, pengalaman
apa gerangan yang hendak diceritakan oleh seorang kakek setua itu.
"Rasanya
sulit mengingat waktu panjang yang sudah lewat dalam masa hidupku. Tapi aku
masih bisa ingat tempo dulu, masa perbudakan manusia." Si Tua mendongakkan
mukanya ke atas seolah-olah ingin melihat, apakah pemuda itu percaya akan ceritanya.
"Memang aku lahir sebagai budak, Nak."
Pemuda
itu mengangguk. Mengapa tidak percaya? Walau semua budak di seluruh Amerika
Serikat sudah dimerdekakan berpuluh-puluh tahun yang lalu, namun kakek ini
kelihatannya hampir sama tuanya seperti Metusalah yang dikisahkan dalam Kitab
Kejadian itu.
"Ya,
aku lahir sebagai budak. Dan tuanku dulu, ia bilang tidak boleh ada seorang anak
budak pun di perkebunannya yang belajar membaca dan menulis. Tapi aku ini, . .
. yah, aku rindu belajar. Dan memang aku belajar! Sering juga aku dipukul
dengan cambuk kalau kedapatan sedang memegang buku." Si Tua tertawa terkekeh-kekeh.
"Tapi aku nekat terus belajar membaca!"
Beberapa
detik kemudian, ia pun meneruskan ceritanya. "Nah, tuanku dulu itu, ia mau
kasih budak-budak sama putrinya. Sebagai hadiah! Lalu ayahku sendiri dan aku sendiri
jadi budak putrinya. Lain lagi sifat dia dari sifat ayahnya! Katanya,
aku
boleh saja belajar membaca dan menulis. Katanya, pasti tidak ada jeleknya
kalau
orang membaca Alkitab. Memang betul!"
Si
Tua tersenyum sendiri sambil mengenang kembali masa lampau itu. "Aku
belajar membaca Alkitab. Belajar mencintainya, juga."
Kakek
itu mengangkat wajahnya. "Sayang, aku tidak punya Alkitab sekarang. Dan
aku
ingin sekali punya. Rasanya aku sudah terlalu tua sekarang untuk bisa bekerja.
Tapi aku masih bisa membaca . . . kalau punya Alkitab."
Petugas
kantor itu lebih tertarik lagi. Apakah Si Tua akan meminta supaya ia menghadiahkan
sebuah Alkitab kepadanya? Seandainya demikian, memang ada di kantor
sedikit persediaan Alkitab yang dapat diberikannya secara gratis, menurut kebijaksanaannya
sendiri.
"Aku
tidak punya uang, Nak," kata kakek itu melanjutkan. "Tapi aku ingin
sekali
punya
Alkitab. Kalau bisa, aku mau kasih imbalan. Nih, lihat, . . . orang suka
kasih uang kalau aku mainkan lagu tarian bagi mereka dengan sulingku."
Tiba-tiba
raut muka si Tua menjadi agak cemas. Ia sudah memberanikan diri datang ke
kantor Lembaga Alkitab, dengan harapan bahwa melalui permainan sulingnya ia dapat
memperoleh apa yang sangat dirindukannya itu. Tetapi sekarang nampaknya ia ragu-ragu.
Mungkin di kantor lembaga Alkitab yang serba modern ini tidak ada seorang pun
yang ingin mendengar musik tarian. Rupanya semua orang di sini sedang bekerja,
dan tidak mau diganggu dengan musik tarian.
"Oom
dapat memainkan lagu apa saja?" tanya pemuda itu lirih.
"Lagu-lagu
tarian dan lagu-lagu gereja, Nak," jawab Si Tua dengan penuh harapan.
"kalau
begitu, mainkan lagu-lagu gereja, Oom."
Si
Tua mengangkat sulingnya dan menempelkannya pada bibirnya. Ia menarik napas panjang.
Lalu not-not tinggi mulai mengalun di ruang kantor lembaga Alkitab. Suara
suling itu lembut dan merdu.
Selama
petugas kantor itu mendengar beberapa lagu rohani, dalam benaknya seolah-olah terlintas
bayangan seorang anak laki-laki kecil berkulit hitam legam, . dengan susah
payah membaca Firman Tuhan, . . . takut kalau-kalau dihukum, dan memang
sewaktu-waktu menerima ganjaran cambuk.
Dengan
cepat ia melangkah ke lemari tempat penyimpanan Alkitab yang khusus boleh diberikan
dengan cuma-cuma. Diambilnya sebuah Alkitab; ditaruhnya pada meja dekat Si Tua.
"Ini Oom. Cukupkah ini?"
Alunan
musik dari suling Si Tua segera berhenti. Ia pun segera lupa akan sulingnya,
yang ditaruhnya dengan begitu saja di atas meja. Kedua belah tangannya
yang hitam dan keriput itu dengan semangat baru menggenggam Alkitab tadi.
"Boleh, Nak? Sungguh boleh? Tanpa mesti kasih uang?"
"Rasanya
Oom sudah membayar setimpal dengan harganya," kata pemuda itu sambil tersenyum.
"Sekalipun Oom tidak memainkan lagu-lagu rohani tadi, Oom sudah membayarnya
waktu masih kecil waktu Oom berani dicambuki, asal saja dapat belajar membaca
Alkitab."
Beberapa
menit kemudian, pemuda itu berdiri di pintu kantor. Ia memperhatikan Si Tua,
yang berjalan kaki di trotoar dengan pelan-pelan. Namun langkahnya tidak tertatih-tatih
seperti tadi. Sekarang ia sengaja berjalan pelan-pelan, agar ia dapat
membaca Alkitab yang terbuka dalam genggaman tangannya itu. Dan ia pun membaca
dengan bersuara.
Petugas
kantor yang masih muda itu kembali ke meja tulisnya. Ia merenung.
Alangkah
indahnya . . . . katanya pada dirinya sendiri. Alangkah indahnya jika semua
orang di seluruh dunia sama rindunya seperti Si Tua tadi untuk memiliki
Alkitab!
TAMAT